ANTOLOGI PUISI "CAHAYA DARI KEBUN KATA"


[1] PUISI AHMAD SAMUEL JOGAWI

IPS

Aku suka dengan mata pelajaran tentang sejarah
Hingga aku sempatkan berangkat jam 06:30
Agar tidak terlambat dalam peristiwa jajahan
Aku suka gurunya, namanya Pak Diponegoro
Beliau bercerita peta Jawa yang diporak-porandakan
Beliau pun menangis saat siswa-siswi tidak memperhatikan
Sedang aku membayang apa yang sudah aku lakukan sampai sekarang?

Pekalongan, 2017


IPA

Aku suka dengan mata pelajaran mengenai unsur alam
Di mana-mana aku dapat bernafas
Di mana-mana aku dapat bermuara
Di mana-mana aku dapat berenergi
Di mana-mana aku dapat berpijak
Tapi orang dewasa sering tidak menyadari kenikmatannya
Mungkin mereka tanggungannya masih banyak?

Pekalongan, 2017


PENJASKES

Aku suka dengan mata pelajaran tentang kesehatan
Setiap gurunya masuk sering disuruh pakai baju olahraga
--senam, kemudian lempar lembing, dan ada yang bermain sepak bola
Tapi sayang sekarang lapangannya dibangun perumahan
Akhirnya pak guru sering memberikan materi dalam kelas
Materinya pun melulu tentang kesehatan jasmani
Hingga aku terpaksa bolos; kenapa tidak ada materi kesehatan rohani?

Pekalongan, 2017


B. INDONESIA

Aku suka dengan mata pelajaran B. Indonesia
Materi yang aku suka tentang cara menulis puisi
Karena guru menyuruhku untuk berimajinasi
Aku pun mengimajinasikan para pahlawan bangkit
“Menyanyikan lagu-lagu kebangsaan”
Agar generasi muda tidak mudah cengeng
Tapi apakah poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia?

Pekalongan, 2017


AGAMA

Aku suka dengan mata pelajaran agama
karena aku bisa berdekatan dengan Tuhan
aku bisa berdoa minta apa saja yang aku mau
Tapi ketika aku melihat telivisi. Aku diam...
Berpikir kenapa para pemuka agama berkelahi?



Pekalongan, 2017


[2] PUISI AMAR ALFIKAR




Gunung yang Mengapung

Gunung tempat bumi berwudhlu dari segala
tempat manusia menanam hidup dan doa doa
tempat Tuhan menitip cinta dan waskita
pada daun daun yang menari tanpa jeda

kini tenggelam di laut serakah manusia
lalu mengapung sebagai tubuh tubuh yang tengah dicor kakinya;
kehilangan nyawa
seperti Yu Patmi:
mujahid sejati
mengabar duka suatu hari

alam dihabisi
dikepung tangan tangan udik korporasi
pejabat sibuk mengkhianati janji dan rakyatnya sendiri
kebenaran dimanipulasi
hukum pun undur diri

Sudah jutaan langkah yang ditempuh kaki kaki

Tangan tangan pejuang yang lusuh karena debu
mengetuk seribu pintu:
hati para petinggi
yang barangkali terbuka suatu hari

Yu Patmi sudah pamit
tapi langkah doa tak boleh mengelumit

Yu Patmi sudah pergi
api perjuangan tak boleh berhenti

Seperti nabi
terus melawan tirani
meski dihujani
batu kerikil dan benci
kotoran dan caci maki

Pejuang dari gunung yang mengapung itu
sungguh tengah dan selalu Gusti cintai
sungguh tengah dan selalu tabah mencintai bumi
setabah mawar pada duri
setabah getah pada widuri

22 Maret 2017


Rembulan di Wajah Ibu

Adalah ibuku
Perempuan yang tiap sepertiga malam menasbihkan keningnya di selembar tanah
Kepada tuhan ia setia berkisah
Tentang doadoa yang ia punguti dari dedaunan gugur di samping rumah
Tentang layang layang yang kukejar di kala bocah
Tentang lantunan arab pegon yang Bapak lisankan dengan langgam jawa
tiap kali membaca tafsir jalalain di kala subuh masih begitu perawan untuk didedahkan

Sejak dulu
mata air ibu mengalir sepanjang sepertiga-Mu
bahkan sebelum ia sendiri tahu siapa aku:
anak kandungnya yang tumbuh tak sempurna

Entah berapa angka tahun yang kubaca,
sejak aku menjelma angin yang berputarputar di sela jemari ibu
menjelma debu yang mendarat di sendal kecoklatan milik ibu
menjelma semut yang bersembunyi di balik resleting dompet ibu
sekadar mengikuti kemana saja ibu pergi,
lantaran aku tak cukup berani untuk mengenalkan diriku sendiri.

Lalu pada suatu waktu
aku menjelma aku
di hadapan ibu kala itu

Dengan terbatabata, kutuntun kata kata
sebab sejak mula kata kata ku tak pernah sedekat itu pada ibuku

Kata kata bersedia lahir sebagai muara air mengalir
mata ibu menghangat bagai kain kasmir
aku bagai musafir
yang tiba di tepi samudera setelah sekian tahun menjejaki padang sahara tanpa jeda.

Ibu menyambutku sebagai anaknya

“Ibu semakin sayang padamu”
katanya sembari menghitung rahmat-Mu yang berjatuhan di beranda beranda kehidupan

Sejak itu, aku selalu berdiri sebagai pepohonan dini hari
menari nari sebagai angin ketabahan
menggugur daun daun kegelisahan
dan kusaksikan selalu tiap kali rembulan menyamar sebagai kalbu
lalu diam diam menetap dengan taat di wajah ibu

itu
pasti sebab cinta-Mu

Kendal, Mei 2016

  

Rumah yang Beribadah

Di Geylang
masjid Khadijah dihimpit kedai bir dan resto babi anjing
tak ada sweeping

di Little India
Wihara dan Pura bagai saudara kembar berseragam
tak ada yang mengecam

di jalan Onan
masjid orang Ahmadiyah menatap lekat
pada masjid orang Sunni yang demikian dekat
tak ada yang mengumbar laknat

di jalan Towner
kuil agama Sikh memahkotai dirinya
serupa kubah masjid di mana saja
di kepala penganutnya
sorban melilit serupa ‘ulama

di beranda masjid Sultan
perempuan perempuan bercelana di atas paha duduk merokok dengan asyiknya
sesekali pelajar berpeci lewat di depan mereka
juga orang orang yang usai menunai sujud di dalamnya
tak melirik benci atau ngedumel murka penuh syak wasangka

Rumah rumah suci kaum agamawan di negeri ini
tiap hari berpuasa dari marah dan benci

rumah rumah itu beribadah saban hari
merekam dosa dosa tanpa mengumbar murka dan ancaman siksa
berdiri teduh di samping rumah rumah suci lainnya
menyaksikan doa doa lain dipanjatkan dengan setia
tanpa merasa perlu untuk berselisih dogma

rumah rumah di negeri kita
juga beribadah saban harinya
menampung segala duka hamba hamba
mendengar segala keresahan kaum jelata
yang tak kunjung merdeka
dari siapa
dan apa saja

Singapura, Februari 2017

  

Sepertiga

I
Menjelang sepertiga keheningan
mata ibuku menjelma dermaga
kulihat ia sibuk merangkai kayu
sebagai perahu:
kendara yang mengantarku
ke samudera tuju tuju

II
Angin dini hari
bertandang ke rumah kami
lewat jendela kamar ibu
dan celah celah pintu

didapatinya ibuku tengah bersimpuh
kakinya yang sepuh lantas lumpuh dihantam doa doa
dan kesucian sepertiga

malaikat turun ke bumi
menjadi saksi
menjadi tembok yang keropos dan juga puisi:
nama nama Gusti yang disebut ribuan kali

gemetar dada malaikat kala itu
ia cemburu
pada tirakat ibu

lalu pulang ia ke langit
membawa perasaan perasaan sengit
kedua sayapnya bau sangit
Tuhan bertanya ada apa
ia diam saja
kakinya dibawa pergi
sunyi
Tuhan bertanya mau ke mana
ia hanya menampakkan punggung semata
lalu lirih melempar sebuah tasbih

Sepertiga berikutnya
gerimis menggamit purnama di teras langit tak bernama
ibuku berdongeng kepada anak anaknya
tentang tasbihnya yang hilang entah ke mana
juga
tentang kesetian doa doa
tentang kemuliaan sepertiga
dan malaikat yang cemburu pada dirinya

Kaliwungu, Agustus 2016



Tubuh yang Menuhan

Tubuh ini cuma liang lahat yang kelak dilipat pahat
tiap malam ia tersungkur mendengkur lalu kerap lupa mengucap sukur

Tiap waktu ia menyusur tempat-tempat ibadah
menggemakan kasidah
membenturkan jidat dengan sejadah
mendakwahkan tauhid dan wahdah
mengkampanyekan tangis dan tengadah

tapi kerap gagal menyusuri muara-muara faedah;
anak dari jembarnya samudera kaidah

Tubuh mengaku diri sebagai hamba sahaya
tapi yang tampak selalu ‘saya’
sedang yang lain pendosa semata
Tuhan lantas dijelma bagai biaya
tak menyisakan apa apa
kecuali hitungan pahala dan dosa

Tubuh telah membangun istana kejumudan yang maha megah
ia mengira Tuhan ialah mahkota yang dipajangnya di atas kepala
dipertontonkan dengan jumawa serupa aksesori derajat sosial manusia

makin kencang ia meneriakkan Tuhan
makin ia semulia panembahan
segala titahnya adalah kebenaran
kebencian dan cacimaki nya adalah kesucian

Di daki hidup yang sungguh fana ini
Tubuh yang berkali kali
mengobarkan benci
atas nama Tuhan Yang Suci
dianggap lebih mulia
dari Tuhan itu sendiri


Kendal, 20 Maret 2017




[3] Puisi-puisi Bahrul Ulum LK

SURGA JAHANAM
 
bagiku surga adalah jahanam yang terdalam dalam perut di mana nabi-nabi menyitir ayat tentang tuhan-tuhan yang kelelahan menyusun tangga langit dengan api pemanah burung gagak hingga rintik hujan pada malam hari bergemuruh mengelilingi batu hitam yang bukan hajaraswad

ketika nabi bukanlah kiblat semut dan doa
maka badai lautan siap menelan mentah-mentah yang ada di bumi tanpa sisa tulang. kuucap seribu mantra menyayikan nenekmoyang yang menyebut diri adam yang kehausan di padang arofah menitik airmata yang menjelma zam-zam yang tak terasa lagi sebagai air kehidupan

pada diri aku bertapa sepi selaksa bidadari yang berkali-kali kucuri selendang sutra di telaga ketika tarub tak bertanya ini milik siapa
kembali ke surga tak ada apa dan sesiapa. hanya fana yang diimingkan bagi pengharap keabadian fatamorgana. delima-delima telah dipetik hawa yang bernafsu dan bercinta dengan iblis yang membaptis diri ahli pertapa agung. dan memang benar adanya surga hanyalah rumah kosong yang menjebak dalam silau cahaya. dan kau bermantra surga

langitkendal, 29012013 | 21.47




RUMAH TANAH

rumahku batu kali airnya mengalir menembus malam
bersenyawa dengan doa yang paling subuh di dedaun
tak ada jendela pun pintu sebagai lantaran tempat
mengaji tangan dan kaki untuk mampu berkata
tentang saksi-saksi yang tak tersedia di pelataran toko

rumahku tanah berdinding tanah berlantai tanah beratap tanah
aku tanah basah dari gurun yang paling tandus di matamu
kaktus yang mampu bertahan di tengah badai pasir mewujud angin
di matamu aku terkunci pada ruang sakral
bertapa pada tujuh arah mata angin

rumahku sunyi sesunyi deras air kali

langitkendal, 13032014 | 21.00

  


ISYARAT SUNYI

dengan bahasa apa lagi aku harus mengisyaratkan rindu
pada jejak setapak jalan yang kita lalui
lereng dan jurang yang tak mampu terukur oleh kenyataan
atau setangkai edelweis di pot kamar tidurmu

bukankah sejak kali pertama berpisah
kita sering bertukar mimpi
menenun harapan yang mencemaskan lantaran doa
yang sering tersangkut lantaran tanpa alamat

sesekali jenguklah kesepianku yang menanggung
beban air mata yang hanya mengantung di kelopak
mawar basah oleh isyarat kerling dedaun yang melambai
meninggalkan kenangan dan harapan

langitkendal, 04042016 | 01.22



PAGI DI JENDELA KAMAR IBU

ibu, subuh ini anakmu pulang tanpa genggaman di tangan
membuka tirai kamarmu sunyi tak ada engkau entah di mana

ibu, ke surau rupanya sejak tarhim menggema
lewat jendela engkau keluar kata angin dan barangkali engaku sengajak meninggalkan jejak di antara reranting pohon jambu kenanganku

ibu, biarkan ku buka jendela kamarmu
agar kurasa juga sejuk ruangmu wangi tanpa melati dan mawar
merah putih yang bersinar

ibu, di dinding kamarmu masih juga kau pasang
bingkai photo aku kecil bertahun lalu
kau gendong penuh senyuman dan aku menangis mengajak keluar

ibu, kini hanya angin di sekelilingku
berhenti tak bernadi di kamarmu
mengisyaratkan rahasia-rahasia tanpa rencana kapan waktunya, pagi

langitkendal, 22062016 | 06.30




MALAM, LAMPU TELAH DIPADAMKAN

malam, lampu-lampu telah dipadamkan
ketika purnama belum sampai ajal
dan kelelawar mengitari ruang angkasa
bercericit saling menyapa

angin sepi menggigil
mengeja nama-nama tanpa doa
antara rimbun dedaun jambu
hilang ketika pagi tiba

di mana kamu warna
sejak adzan berkumandang suara hilang
antara jejak purnama bulan batu
dan kau masih juga pura-pura

malam, lampu-lampu telah dipadamkan
mari tidur sayang
sebelum gagak memburu mayat
menatap curiga

langitkendal, 08032017 | 22.40





Komentar